Halaman

Kamis, 11 Oktober 2012

HADITS PENDIDIKAN


I.        Pendahuluan

Runtuhnya ideologi komunis akhir abad 20 bermula dari ungkapan anti Tuhan yang kemudian berubah menjadi anti manusia dengan segala kejahatan dan kezaliman yang dilakukan terhadap umat. Tampaknya pada abad yang akan datang, ideologi ini akan dikenang sebagai sisa-sisa peradaban yang tetap terkutuk.[1] Sementara itu, kapitalisme yang masih berada pada masa kejayaan, juga tidak dapat dijadikan alternatif bagi peradaban masa depan. Hal ini disebabkan tabiatnya yang rakus, tidak bermoral dan hanya dapat melahirkan masyarakat Hedonistic.

Masyarakat yang seperti ini, cenderung mengabaikan nilai-nilai moral atau akhlak dalam setiap aktifitasnya. Sehingga muncullah penyimpangan-penyimpangan prilaku diberbagai lapisan. Korupsi misalnya yang sering disebut dengan istilah kejahatan kera putih (White Collar Crime)[2] yang kebanyakan dilakukan oleh penguasa dan pengusaha, pencopetan, pencuri dan perampokan yang dilakukan oleh kelas bawah (Blue Collar Crime), sementara para pemuda asyik dengan pesta narkoba dan sex bebas bahkan dalam dunia pendidikan sendiri sering dijumpai ketidakjujuran dalam beberapa hal. Di sisi lain pendidikan kurang mendapat perhatian.
Berdasarkan kenyataan tersebut penulis berusaha mencari dan mentahrij hadith-hadith tentang akhlak. Untuk mengingatkan kita kembali betapa pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya peradaban yang "manusiawi".


II.     Pembahasan
A. Pendidikan Akhlak Integratif
Berbicara tentang pendidikan akhlak berarti berbicara tentang upaya pembentukan akhlak mulia melalui seluruh proses pendidikan dan tidak cukup melalui bidang studi akhlak. Oleh karena itu, pendidikan akhlak tidak semata-mata berkaitan dengan bidang studi akhlak, tetapi mencakup bidang studi secara keseluruhan, bahkan mencakup seluruh program pendidikan. Hasil perumusan Depdiknas dan Depag (2000) menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti bukan mata pelajaran tersendiri (monolitik), tetapi merupakan program pendidikan terpadu yang memerlukan perilaku, keteladanan lingkungan yang kondusif. Untuk dapat mewujudkan kesatuan bidang studi yang integratif dalam membentuk karakter peserta didik, perlu diterapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan, antara lain dengan sebisa mungkin memasukkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran. Atau dengan melakukan reorientasi baru, baik dari segi isi dan pendekatan terhadap bidang studi yang relevan dan berkaitan, bahkan dalam rumusan Depdiknas (2000) mencakup bidang studi seperti matematika, bahasa Indonesia, IPS, dan sebagainya.[3]
Seluruh bidang studi dalam pendidikan Islam merupakan kesatuan sistematis yang dapat menumbuhkan perilaku baik peserta didik. Dalam rangka mencari kesatuan sistematis antara seluruh bidang studi dengan pembentukan perilaku baik, Abdul Munir Mulkhan melakukan penelitian hubungan antara mata pelajaran tertentu dengan mata pelajaran akhlak. Namun karena keterbatasan dana dan waktu, Mulkhan hanya mencari korelasi antara mata pelajaran tauhid dan akhlak. Penelitian melalui buku ajar tauhid dan akhlak ini berusaha mencari pengaruh materi tauhid terhadap akhlak yang dapat memberi peluang bagi pengayaan pengalaman dan menumbuhkan kesadaran.[4] Penelitian seperti ini perlu dikembangkan melalui penelitian-penelitian berikutnya dengan melihat hubungan antara mata pelajaran tertentu dengan akhlak untuk menggali materi-materi yang dapat menumbuhkan kesadaran dan pembentukan akhlak peserta didik sesuai dengan upaya penerapan character-based education dan kurikulum berbasis kompetensi yang menganut prinsip keimanan, penilaian, dan budi pekerti luhur serta keseimbangan antara etika, logika, estetika, dan kinestetika. Usaha ini tentu saja bukan hal yang bersifat instan, tetapi membutuhkan waktu lama.
Pendidikan akhlak integratif tidak hanya dengan meletakkan dasar kebaikan perilaku dalam seluruh bidang studi dan menjadikannya sebagai kesatuan yang sistematis dalam membangun karakter peserta didik. Tidak juga cukup dengan menciptakan lingkungan sekolah yang dapat menumbuhkan budi pekerti luhur, tetapi dengan menciptakan lingkungan akhlak karimah di keluarga dan masyarakat. Pendidikan budi pekerti yang integratif merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat, dan keluarga.
Krisis moral memiliki keterkaitan dengan krisis-krisis lain yang lebih luas. Krisis mentalitas dan moral peserta didik merupakan cermin yang lebih luas yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat umumnya.[5] Memang tidak bijaksana menyalahkan sekolah-sekolah sebagai biang keladi krisis moral dan mentalitas peserta didik.
Hurn, sebagaimana dikutip oleh Frank J. Mifflen dan Sidney C. Mifflen, tidak sependapat jika krisis sosial dan moral dikaitkan dengan lembaga pendidikan. Tidak terdapat bukti bahwa sekolah-sekolah tidak berhasil dalam membentuk kepribadian peserta didik. Kurang bijaksana mempersalahkan sekolah-sekolah untuk terjadinya krisis di masyarakat.[6]
Masyarakat utama krisis sosial dan moral tidak hanya terletak pada sekolah, tetapi lingkungan masyarakat dan keluarga juga menjadi faktor krusial bagi penyimpangan moral di masyarakat. Namun demikian, bukan berarti sekolah dapat mengabaikan perannya dalam turut serta menciptakan keberlakuan budi pekerti. Sekolah memiliki posisi sangat strategis dan merupakan titik pusat dan awal dalam mengatasi krisis moral di masyarakat.

B. Tahri>j Hadith Ahlak Terpuji ( al-S{idk ) dan Tercela ( al-Kidhb )

      Tahrij Hadith merupakan langkah pencarian asal usul  suatu hadith dari sumber aslinya ( kaitab-kitab Musannafat ) yang di dalamnya menyebutkan sanad hadith tersebut secara lengkap,  sebagai dasar penjelasan kualitas hadith yang dimaksud dalam suatu  penelitian .[7]
Takhri>j Secara etimologi berasal dari kata kharaja yang berarti menampakkan atau menjelaskan.[8] Sedangkan secara terminologi adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadith pada sumbernya yang asli, yakni dari berbagai kitab yang didalamnya dikemukkan hadith tersebut secara lengkap dengan sanadnya masing-masing disertai penjelasan tentang kualitas hadith yang bersangkutan.[9]
 Penelusuran suatu hadith dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode yang ditawarkan oleh ahli hadith, pertama melalui lafad pertama/awal matan hadith, seperti kitab al Jami' al Saghir karya al Suyuthi, kedua melalui lafad dalam matan seperti dalam kitab al Mu'jam al Mufahras li Alfad al Hadith karya A.J Weinsink dan Muhammad Fu'ad Abd al Baqi', ketiga melalui perawi pertama, seperti dalam kitab al Musnad karya Imam Ahmad, keempat melalui tema hadith seperti kitab Miftah Kunuz al Sunnah karya A.J Weinsink dan kelima melalui status hadith, seperti kitab al Marasil karya Abu Daud Sulaiman al Ash'ath.[10]



0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More